Iklan

Kelor Indonesia Tembus Pasar Dunia Rp 250.000/Kg, Jepang Minta 40 Ton Kelor Per Minggu

ADMIN
Oktober 06, 2019, 8:40 AM WIB Last Updated 2020-03-31T13:27:53Z
masukkan script iklan disini
David Clifton jauh-jauh datang dari Vietnam untuk menetap sementara  di kediaman Ir. Ai Dudi Krisnadi di Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran,  Kabupaten Blora, Jawa Tengah. 

Di sana pemilik perusahaan perdagangan  asal Kanada itu turut memanen kelor di kebun. Ia juga mengamati tahap  demi tahap pengolahan kelor di Pusat Pembelajaran Moringa Organik  Indonesia milik Dudi.
 
Ia dan Dudi tengah mempersiapkan kerjasama  produksi aneka olahan Moringa oleifera untuk memenuhi pasar negara-negara di Benua Eropa dan Amerika utara.

Menurut David, ia memilih bekerjasama dengan Dudi karena serbuk kelor  yang dihasilkannya berkualitas lebih baik dibandingkan produk dari  negara-negara sentra produksi kelor lain di dunia. Salah satunya dalam  hal kandungan nutrisi.

"Salah satu buyer dari Jerman menguji kandungan  nutrisi kelor produksi Dudi dan ternyata kandungan nutrisi kelor  produksi Dudi paling baik," ujar David.

Menurut Dudi kandungan nutrisi adalah aspek paling penting yang  menjadi indikator kualitas kelor. Pasalnya, lembaga internasional  seperti Food and Agricultural Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) menggadang-gadang moringa---sebutan kelor di dunia internasional---sebagai super food karena kandungan nutrisi kelor yang luar biasa.

Menurut Dudi kandungan  potasium atau kalium serbuk kelor 15 kali lebih tinggi daripada pisang.  Kalium salah satu unsur penting untuk membantu menjaga kesehatan  jantung.

 Keunggulan lain kandungan vitamin A sebuk kelor 10 kali lebih  tinggi daripada wortel, kandungan zat besi 25 kali lebih tinggi daripada  bayam, vitamin C kali dari jeruk, kalsium 17 kali lebih tinggi  daripada kalsium susu, dan protein 9 kali lebih tinggi daripada yoghurt.

Lantaran kandungan nutrisinya yang tinggi, beberapa negara  memanfaatkan kelor untuk mengatasi masyarakat yang kekurangan gizi.

David menuturkan moringa juga menjadi salah satu sumber nutrisi  masyarakat di Eropa yang peduli hidup sehat. "Masyarakat di sana  mengolah serbuk moringa menjadi salah satu bahan smoothie," tambah  David.

Dudi mengolah daun kelor dengan prosedur ketat untuk menjaga  kandungan nutrisinya. "Hasil panen harus segera diolah maksimal 4 jam  setelah panen," ujar Dudi. Setelah merorot daun hasil panen, para  karyawan bergegas mencuci dan mengeringkan daun kelor.

Proses  pengeringan berlangsung dalam ruangan. Dudi mengatur suhu di ruang  pengeringan maksimal 35oC dan kelembapan 46% agar tidak merusak kandungan nutrisi. Daun kelor kering setelah 3 hari pengeringan.

Selanjutnya Dudi menggiling daun kering menjadi serbuk hingga tingkat  kehalusan 200 mesh. Daun kelor serbuk itu menjadi bahan baku teh daun  kelor celup.

Pria 55 tahun itu juga mengolah daun kelor menjadi tepung  yang lebih halus, yakni hingga berukuran 500 mesh.

"Tepung daun kelor  seukuran debu itu dapat digunakan sebagai bahan campuran produk apapun  baik itu makanan, kapsul, atau kosmetik," ujar Dudi.

Untuk menghasilkan  tepung sehalus itu caranya dengan mengisap "debu" saat proses penepungan  daun kelor kering.

Dudi menjual sebagian besar produk tepung dan olahan kelor ke  mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, Myanmar, Korea  Selatan, dan negara-negara lain di Benua Afrika, Eropa, serta Amerika.

"Pasar Indonesia malah sedikit karena di masyarakat kita beredar mitos  kalau kelor berhubungan dunia mistis," ujar alumnus Fakultas Pertanian  Universitas Siliwangi, Tasikmalaya, Jawa Barat, itu.

Untuk pasar lokal,  Dudi memasarkan aneka produk olahan kelor melalui 71 gerai yang tersebar  di seluruh Indonesia.

Dalam sebulan Dudi mampu menjual rata-rata 2 ton tepung daun kelor  dengan harga Rp250.000 per kg atau total omzet rata-rata Rp500 juta per  bulan. Tepung daun kelor itu menjadi bahan baku berbagai olahan, seperti  teh, aneka jenis makanan, kapsul herbal, dan aneka produk kosmetik.

Dudi memperoleh pasokan bahan baku kelor dari pekebun mitra, salah  satunya Felix Bram Samora. Pemuda asal Blora itu mengebunkan kelor  secara organik di lahan 3 hektar sejak 2014.

 Lokasi kebun bersebelahan  dengan area pengolahan kelor milik Dudi.

"Idealnya lokasi kebun dekat  dengan lokasi pengolahan karena hasil panen daun kelor harus segera  diolah sebelum 4 jam," tutur Dudi.

Dari kebun seluas itu Bram memanen rata-rata 500 kg daun kelor segar  setiap dua hari. Hasil panen itu ia jual ke Dudi, lalu dikeringkan.

Dari  jumlah hasil panen itu menghasilkan 50 kg daun kelor kering atau  rendemen 10%. "Setiap bulan saya harus membayar ke Bram rata-rata Rp75  juta per bulan," ujar Dudi sambil tersenyum.

Selain dari Bram, Dudi juga  memperoleh pasokan tepung daun kelor dari para pekebun di NTT. "Mereka  sudah punya unit pengolahan sendiri sehingga bisa menjual dalam bentuk  tepung," tambahnya.
Komentar

Tampilkan

Terkini