Kiai Cholil: Sang Pencetak Kiai-kiai Besar Nusantara
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata K.H. Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
SEPOTONG kalimat pendek ini memiliki makna mendalam. Kalimat pendek yang diucapkan itu, agaknya ikut memperlancar, bahkan menentukan, lahirnya sebuah organisasi yang kemudian dinamakan Nahdlatul Ulama (NU).
Siapa Kiai Cholil? Bagi warga NU, nama ini tentu tak asing. Beliaulah yang ikut membidani kelahiran NU.
Waktu itu tahun 1924. Di Surabaya ada sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (Potret Pemikiran), yang didirikan oleh seorang kiai muda yang cukup ternama waktu itu, Kiai Abdul Wahab Chasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap berbagai gejolak dan tantangan yang dihadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun bidang pendidikan dan politik. Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan sebuah jam’iyah (organisasi) yang lingkupnya lebih besar ketimbang hanya sebuah kelompok diskusi.
Dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan jam’iyah. Tampaknya tidak begitu ada persoalan, kecuali restu dari Kiai Hasyim Asy’ari, seorang kiai yang paling berpengaruh saat itu. Kiai Wahab sudah menyampaikan keinginan untuk mendirikan jam’iyah kepada Kiai Hasyim, gurunya. Namun Kiai Hasyim tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Berbilang hari dan bulan Kiai Hasyim melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah. Namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu Kiai Cholil, guru Kiai Hasyim yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu. Ternyata beliau tanggap. Seorang santri yang terhitung masih cucunya sendiri, As’ad, dipanggil untuk menghadap.
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata K.H. Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
“Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini,” pesan Kiai Cholil seraya membacakan surat Thaahaa (20) ayat 18-23.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, kediaman Kiai Hasyim.
Hidup di zaman penjajahan menjadikan kehidupan Kiai Cholil tidak Iepas dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Dengan caranya sendiri, Kiai Cholil melakukan perlawanan kepada penjajah. Cara utama yang dilakukan adalah melalui bidang pendidikan, Melalui jalur ini Kiai Cholil mempersiapkan pemimpin yang berilmu, punya wawasan, tangguh, dan banyak integritas, baik kepada agama maupun bangsa.
Banyak pemimpin umat dan bangsa yang berhasil dipersiapkan Kiai Cholil. Tercatat, antara lain, Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri Pesantren Tebuireng, pendiri NU, dan termasuk pahlawan nasional), Kiai Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pesantren Tambakberas dan pendiri NU), Kiai Bisri Syansuri (pendiri Pesantren Denanyar dan pendiri NU), Kiai Ma’shum (pendiri Pesantren Lasem Rembang, ayahanda Kiai Ali Ma’shum, mantan Rois ’Am PBNU), Kiai Bisri Musthofa (pendiri Pesantren Rembang, pengarang kitab terkenal), dan masih banyak lagi. Kiai Cholil juga punya cara tersendiri untuk melawan penjajah. Beliau tidak melakukan perlawanan secara terbuka kepada penjajah. Beliau lebih banyak berada di belakang layar. Kiai Cholil tak segan memberikan suwuk kepada pejuang. Kiai Cholil juga tak keberatan pesantrennya dijadikan tempat bersembunyi para pejuang.
Suatu ketika ada beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi di kompleks Pesantren Demangan. Tentara penjajah mencium hal ini. Dengan mengerahkan tentara yang cukup, mereka mengaduk-aduk kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren. Karena itu mereka merasa sangat marah ketika tak menemukan apa-apa. Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil. Mereka berharap, dengan ditahannya Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang mau menyerahkan diri.
Tapi apa yang terjadi? Bukan pejuang itu yang menyerahkan diri, malah penjajah dipusingkan berbagai kejadian yang tak mereka mengerti. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan. Ini membuat mereka harus berjaga siang dan malam, kalau tak ingin tahanan yang lain melarikan diri. Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang dari berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa, berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil. Tentu saja hal itu memusingkan pihak penjajah.
Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil. Tapi ini juga tak menyelesaikan masalah. Masyarakat yang berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang meminta ikut ditahan bersama Kiai Cholil. Daripada dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa dimengerti, pihak penjajah akhirnya melepas Kiai Cholil begitu saja.
Kiai Cholil memang menjadi fenomena tersendiri. Beliau seorang yang alim dalam ilmu nahwu, fiqih, dan tarekat. Beliau juga dikenai hafal Al-Quran dan menguasai segala ilmu Al-Quran, termasuk Qira’ah Sab’ah (tujuh macam seni baca Al-Quran). Masyarakat dibikin terpukau bukan hanya karena ilmunya tapi juga karena kemampuannya dalam hal-hal yang tidak kasad mata (tidak dapat diindra). Wajar bila kemudian sebagian besar umat Islam meyakini beliau adalah waliyullah.
Kiai Cholil lahir pada Selasa 11 Jumada al-Tsaniyah 1235 H. Beliau putra H. Abdul LAtief. seorang kiai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung barat Pulau Madura. Kiai Abdul Latief sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Tak salah kalau beliau berharap putranya bisa mengikuti Sunan Gunung Jati karena ia masih terhitung keturunannya. Ayah Kiai Latief, yakni Kiai Hamim, adalah anak Kiai Asral Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati.
Sehubungan dengan harapannya itu, anaknya, yang diberi nama Muhammad Cholil, beliau didik sendiri dengan ketat. Cholil kecil memang menunjukkan bakat istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu fiqih dan nahwu sangat luar biasa. Cholil muda sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik—seribu bait ilmu nahwu. Untuk memenuhi harapannya, Cholil muda dikirim ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Tahun 1859, ketika berusia 24 tahun, Kiai Cholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Sebelum berangkat, beliau dinikahkan dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Ongkos pelayaran ditutup dari tabungannya selama nyantri. Selama di pelayaran, kiai muda ini lebih banyak berpuasa. Ini dilakukan bukan untuk menghemat uang, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat.
Sepulang dari tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Kiai Cholil dikenal sebagai ahli fiqih dan tarekat yang jempolan. Bahkan akhirnya beliau bisa memadukan kedua ilmu ini dengan serasi. Beliau juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Quran 30 juz). Beliau kemudian mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer barat laut dari desa kelahirannya. Dari hari ke hari banyak santri berdatangan dari desa-desa di sekitarnya.
Beberapa tahun kemudian, Kiai Cholil menyerahkan pesantren itu kepada menantunya, yang tak lain keponakannya sendiri, Kiai Muntaha. Akan halnya Kiai Cholil, beliau mendirikan pesantren di Desan Kademangan, hampir di pusat kota sekitar 200 meter sebelah barat laut alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak pesantren yang baru ini sekitar 1 kilometer dari pesantren lama dan desa kelahirannya. Di tempat yang baru ini Kiai Cholil juga cepat memperoleh santri. Bukan saja dari daerah sekitar, tapi juga dari tanah seberang, Pulau Jawa. Santri pertama dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Setelah mengabdikan diri dalam dakwah, Kiai Cholil dipanggil Allah Ta’ala. Beliau wafat pada 29 Ramadhan 1343 H dalam usia 91 tahun (menurut hitungan tahun Miladiyah) karena usia lanjut. Jejak dan langkahnya kini tetap menjadi momen yang mengalir hidup melalui perjuangan penerus dan pengikutnya. Di Indonesia kini terdapat 6.000 pesantren lebih yang terus berkhidmah dalam hidup bangsa dan agama. Sebagian besar pengasuh pesantren mempunyai sanad (persambungan) dengan Kiai Hasyim Asyari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai M. Bisri Syansuri, atau kiai-kiai besar lainnya di Jawa. Padahal jelas, mereka semua adalah murid Kiai Cholil. Artinya, hampir semua kiai yang ada sekarang ini mempunyai sanad sampai Kiai Cholil. Muara yang penuh misteri. []
(Dikutip dan disunting oleh Yusuf Maulana, Redaktur Ahli Islampos,dari buku Saifullah Ma’shum [ed.], 1998, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan dan Yayasan Saifuddin Zuhri, halaman 21-34)
Sumber : Islampos.com
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata K.H. Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
SEPOTONG kalimat pendek ini memiliki makna mendalam. Kalimat pendek yang diucapkan itu, agaknya ikut memperlancar, bahkan menentukan, lahirnya sebuah organisasi yang kemudian dinamakan Nahdlatul Ulama (NU).
Siapa Kiai Cholil? Bagi warga NU, nama ini tentu tak asing. Beliaulah yang ikut membidani kelahiran NU.
Waktu itu tahun 1924. Di Surabaya ada sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (Potret Pemikiran), yang didirikan oleh seorang kiai muda yang cukup ternama waktu itu, Kiai Abdul Wahab Chasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap berbagai gejolak dan tantangan yang dihadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun bidang pendidikan dan politik. Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan sebuah jam’iyah (organisasi) yang lingkupnya lebih besar ketimbang hanya sebuah kelompok diskusi.
Dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan jam’iyah. Tampaknya tidak begitu ada persoalan, kecuali restu dari Kiai Hasyim Asy’ari, seorang kiai yang paling berpengaruh saat itu. Kiai Wahab sudah menyampaikan keinginan untuk mendirikan jam’iyah kepada Kiai Hasyim, gurunya. Namun Kiai Hasyim tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Berbilang hari dan bulan Kiai Hasyim melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah. Namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu Kiai Cholil, guru Kiai Hasyim yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu. Ternyata beliau tanggap. Seorang santri yang terhitung masih cucunya sendiri, As’ad, dipanggil untuk menghadap.
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” kata K.H. Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
“Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat ini,” pesan Kiai Cholil seraya membacakan surat Thaahaa (20) ayat 18-23.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, kediaman Kiai Hasyim.
Hidup di zaman penjajahan menjadikan kehidupan Kiai Cholil tidak Iepas dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Dengan caranya sendiri, Kiai Cholil melakukan perlawanan kepada penjajah. Cara utama yang dilakukan adalah melalui bidang pendidikan, Melalui jalur ini Kiai Cholil mempersiapkan pemimpin yang berilmu, punya wawasan, tangguh, dan banyak integritas, baik kepada agama maupun bangsa.
Banyak pemimpin umat dan bangsa yang berhasil dipersiapkan Kiai Cholil. Tercatat, antara lain, Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri Pesantren Tebuireng, pendiri NU, dan termasuk pahlawan nasional), Kiai Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pesantren Tambakberas dan pendiri NU), Kiai Bisri Syansuri (pendiri Pesantren Denanyar dan pendiri NU), Kiai Ma’shum (pendiri Pesantren Lasem Rembang, ayahanda Kiai Ali Ma’shum, mantan Rois ’Am PBNU), Kiai Bisri Musthofa (pendiri Pesantren Rembang, pengarang kitab terkenal), dan masih banyak lagi. Kiai Cholil juga punya cara tersendiri untuk melawan penjajah. Beliau tidak melakukan perlawanan secara terbuka kepada penjajah. Beliau lebih banyak berada di belakang layar. Kiai Cholil tak segan memberikan suwuk kepada pejuang. Kiai Cholil juga tak keberatan pesantrennya dijadikan tempat bersembunyi para pejuang.
Suatu ketika ada beberapa pejuang dari Jawa yang bersembunyi di kompleks Pesantren Demangan. Tentara penjajah mencium hal ini. Dengan mengerahkan tentara yang cukup, mereka mengaduk-aduk kompleks pesantren. Mereka begitu yakin para pejuang bersembunyi di pesantren. Karena itu mereka merasa sangat marah ketika tak menemukan apa-apa. Karena jengkel, akhirnya mereka menahan Kiai Cholil. Mereka berharap, dengan ditahannya Kiai Cholil yang sudah sepuh itu, para pejuang mau menyerahkan diri.
Tapi apa yang terjadi? Bukan pejuang itu yang menyerahkan diri, malah penjajah dipusingkan berbagai kejadian yang tak mereka mengerti. Mula-mula, semua pintu tahanan tak bisa ditutup ketika Kiai Cholil dimasukkan ke dalam tahanan. Ini membuat mereka harus berjaga siang dan malam, kalau tak ingin tahanan yang lain melarikan diri. Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang dari berbagai penjuru Pulau Madura, bahkan juga dari Jawa, berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan kepada Kiai Cholil. Tentu saja hal itu memusingkan pihak penjajah.
Akhirnya mereka mengeluarkan larangan mengunjungi Kiai Cholil. Tapi ini juga tak menyelesaikan masalah. Masyarakat yang berbondong-bondong itu berkerumun, berjejal di sekitar rumah tahanan, bahkan ada yang meminta ikut ditahan bersama Kiai Cholil. Daripada dipusingkan dengan hal-hal yang tak bisa dimengerti, pihak penjajah akhirnya melepas Kiai Cholil begitu saja.
Kiai Cholil memang menjadi fenomena tersendiri. Beliau seorang yang alim dalam ilmu nahwu, fiqih, dan tarekat. Beliau juga dikenai hafal Al-Quran dan menguasai segala ilmu Al-Quran, termasuk Qira’ah Sab’ah (tujuh macam seni baca Al-Quran). Masyarakat dibikin terpukau bukan hanya karena ilmunya tapi juga karena kemampuannya dalam hal-hal yang tidak kasad mata (tidak dapat diindra). Wajar bila kemudian sebagian besar umat Islam meyakini beliau adalah waliyullah.
Kiai Cholil lahir pada Selasa 11 Jumada al-Tsaniyah 1235 H. Beliau putra H. Abdul LAtief. seorang kiai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung barat Pulau Madura. Kiai Abdul Latief sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Tak salah kalau beliau berharap putranya bisa mengikuti Sunan Gunung Jati karena ia masih terhitung keturunannya. Ayah Kiai Latief, yakni Kiai Hamim, adalah anak Kiai Asral Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati.
Sehubungan dengan harapannya itu, anaknya, yang diberi nama Muhammad Cholil, beliau didik sendiri dengan ketat. Cholil kecil memang menunjukkan bakat istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu fiqih dan nahwu sangat luar biasa. Cholil muda sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik—seribu bait ilmu nahwu. Untuk memenuhi harapannya, Cholil muda dikirim ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Tahun 1859, ketika berusia 24 tahun, Kiai Cholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Sebelum berangkat, beliau dinikahkan dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih. Ongkos pelayaran ditutup dari tabungannya selama nyantri. Selama di pelayaran, kiai muda ini lebih banyak berpuasa. Ini dilakukan bukan untuk menghemat uang, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat.
Sepulang dari tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Kiai Cholil dikenal sebagai ahli fiqih dan tarekat yang jempolan. Bahkan akhirnya beliau bisa memadukan kedua ilmu ini dengan serasi. Beliau juga dikenal sebagai al-hafidz (hafal Al-Quran 30 juz). Beliau kemudian mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer barat laut dari desa kelahirannya. Dari hari ke hari banyak santri berdatangan dari desa-desa di sekitarnya.
Beberapa tahun kemudian, Kiai Cholil menyerahkan pesantren itu kepada menantunya, yang tak lain keponakannya sendiri, Kiai Muntaha. Akan halnya Kiai Cholil, beliau mendirikan pesantren di Desan Kademangan, hampir di pusat kota sekitar 200 meter sebelah barat laut alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak pesantren yang baru ini sekitar 1 kilometer dari pesantren lama dan desa kelahirannya. Di tempat yang baru ini Kiai Cholil juga cepat memperoleh santri. Bukan saja dari daerah sekitar, tapi juga dari tanah seberang, Pulau Jawa. Santri pertama dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.
Setelah mengabdikan diri dalam dakwah, Kiai Cholil dipanggil Allah Ta’ala. Beliau wafat pada 29 Ramadhan 1343 H dalam usia 91 tahun (menurut hitungan tahun Miladiyah) karena usia lanjut. Jejak dan langkahnya kini tetap menjadi momen yang mengalir hidup melalui perjuangan penerus dan pengikutnya. Di Indonesia kini terdapat 6.000 pesantren lebih yang terus berkhidmah dalam hidup bangsa dan agama. Sebagian besar pengasuh pesantren mempunyai sanad (persambungan) dengan Kiai Hasyim Asyari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai M. Bisri Syansuri, atau kiai-kiai besar lainnya di Jawa. Padahal jelas, mereka semua adalah murid Kiai Cholil. Artinya, hampir semua kiai yang ada sekarang ini mempunyai sanad sampai Kiai Cholil. Muara yang penuh misteri. []
(Dikutip dan disunting oleh Yusuf Maulana, Redaktur Ahli Islampos,dari buku Saifullah Ma’shum [ed.], 1998, Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Bandung: Mizan dan Yayasan Saifuddin Zuhri, halaman 21-34)
Sumber : Islampos.com