Kisah Infaq Tukang Becak, Bikin Ketua DKM Menangis Haru
“Ustadz, saya mau infaq untuk masjid,” kata tukang becak itu sambil menyerahkan enam lembar uang kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai.
“Kok banyak, Pak?” Sang Ustadz tahu, uang Rp 300.000 cukup banyak untuk seorang tukang becak.
“Ini uang BLT yang baru saya terima Ustadz,” jawab tukang becak, membuat mata Sang Ustadz berkaca-kaca.
“Sudah lama saya ingin menyumbang masjid ini Pak. Saya tiap hari mengayuh becak di daerah sini. Cukup jauh dari rumah. Saya sangat memerlukan masjid untuk ganti baju, mandi dan sebagainya. Awalnya saya pernah ke masjid lain untuk mandi, tapi beberapa hari kemudian saya dimarahi. ‘Masjid ini bukan tempat mandi!’”
“Lalu saya datang ke masjid ini karena dengar dari teman, Masjid Jogokariyan sangat ramah untuk siapa saja. Dan saya membuktikannya. Saya mandi pagi dan siang hari tidak ada yang memarahi. Bahkan dipersilakan jika butuh sesuatu. Saya jadi suka dengan masjid dan suka sholat jamaah, Ustadz. Sejak saat itu saya sangat ingin berinfak untuk masjid ini jika punya uang. Dan alhamdulillah sekarang saya dapat BLT,” Sang Ustadz tak kuasa menahan tangis karena haru.
Ibrah dari Kisah Infaq Tukang Becak
Dari kisah infaq tukang becak ini, DKM atau Takmir Masjid perlu mengambil ibrah. Bahwa semestinya masjid itu melayani umat dan menjadi solusi. Dan ketika pelayanan masjid dirasakan oleh umat, mereka merasa memiliki dan dengan ikhlas berinfaq dengan sesuatu yang mereka cintai.
Ustadz Muhammad Jazir, Ketua DKM Masjid Jogokariyan yang menjadi saksi ketulusan tukang becak itu mengungkapkan, pada tahun 1999, infaq di Masjid Jogokariyan hanya mencapai Rp 8.640.000 setahun. Setelah pelayanannya diperbaiki, infaq meningkat menjadi Rp 43 juta setahun pada tahun 2000-an. Meningkat terus pada kurun 2006-2008 menjadi Rp 225 juta per tahun. Lalu Rp 354 juta pada 2010. Dan kini, untuk infaq buka puasa saja mencapai milyaran rupiah.
Kedua, kita semua juga bisa mengambil ibrah dari tukang becak. Yang sangat ingin berinfak. Ia menunggu-nunggu kapan punya uang untuk berinfak. Dan saat menerima BLT, ia menginfakkan semuanya.
Bisa jadi, tukang becak itu telah melampaui kebajikan kita karena ia menginfakkan uang yang sebenarnya sangat ia butuhkan. Uang yang sebenarnya sangat ia suka ketika mendapatkannya.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)
Kisah infaq seperti ini hendaknya menguatkan kembali semangat kita untuk berinfaq. Yang dengannya kita bisa mencapai kebajikan yang sempurna. Yang dengannya kita mendapatkan cinta dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang dengannya musibah tercegah dan bahagia hadir dalam jiwa. Dan dengannya semoga kita mendapatkan ridha-Nya dan dijadikan ahli surga. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Sumber : bersamadakwah.net
“Ustadz, saya mau infaq untuk masjid,” kata tukang becak itu sambil menyerahkan enam lembar uang kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai.
“Kok banyak, Pak?” Sang Ustadz tahu, uang Rp 300.000 cukup banyak untuk seorang tukang becak.
“Ini uang BLT yang baru saya terima Ustadz,” jawab tukang becak, membuat mata Sang Ustadz berkaca-kaca.
“Sudah lama saya ingin menyumbang masjid ini Pak. Saya tiap hari mengayuh becak di daerah sini. Cukup jauh dari rumah. Saya sangat memerlukan masjid untuk ganti baju, mandi dan sebagainya. Awalnya saya pernah ke masjid lain untuk mandi, tapi beberapa hari kemudian saya dimarahi. ‘Masjid ini bukan tempat mandi!’”
“Lalu saya datang ke masjid ini karena dengar dari teman, Masjid Jogokariyan sangat ramah untuk siapa saja. Dan saya membuktikannya. Saya mandi pagi dan siang hari tidak ada yang memarahi. Bahkan dipersilakan jika butuh sesuatu. Saya jadi suka dengan masjid dan suka sholat jamaah, Ustadz. Sejak saat itu saya sangat ingin berinfak untuk masjid ini jika punya uang. Dan alhamdulillah sekarang saya dapat BLT,” Sang Ustadz tak kuasa menahan tangis karena haru.
Ibrah dari Kisah Infaq Tukang Becak
Dari kisah infaq tukang becak ini, DKM atau Takmir Masjid perlu mengambil ibrah. Bahwa semestinya masjid itu melayani umat dan menjadi solusi. Dan ketika pelayanan masjid dirasakan oleh umat, mereka merasa memiliki dan dengan ikhlas berinfaq dengan sesuatu yang mereka cintai.
Ustadz Muhammad Jazir, Ketua DKM Masjid Jogokariyan yang menjadi saksi ketulusan tukang becak itu mengungkapkan, pada tahun 1999, infaq di Masjid Jogokariyan hanya mencapai Rp 8.640.000 setahun. Setelah pelayanannya diperbaiki, infaq meningkat menjadi Rp 43 juta setahun pada tahun 2000-an. Meningkat terus pada kurun 2006-2008 menjadi Rp 225 juta per tahun. Lalu Rp 354 juta pada 2010. Dan kini, untuk infaq buka puasa saja mencapai milyaran rupiah.
Kedua, kita semua juga bisa mengambil ibrah dari tukang becak. Yang sangat ingin berinfak. Ia menunggu-nunggu kapan punya uang untuk berinfak. Dan saat menerima BLT, ia menginfakkan semuanya.
Bisa jadi, tukang becak itu telah melampaui kebajikan kita karena ia menginfakkan uang yang sebenarnya sangat ia butuhkan. Uang yang sebenarnya sangat ia suka ketika mendapatkannya.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)
Kisah infaq seperti ini hendaknya menguatkan kembali semangat kita untuk berinfaq. Yang dengannya kita bisa mencapai kebajikan yang sempurna. Yang dengannya kita mendapatkan cinta dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang dengannya musibah tercegah dan bahagia hadir dalam jiwa. Dan dengannya semoga kita mendapatkan ridha-Nya dan dijadikan ahli surga. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]
Sumber : bersamadakwah.net