Soal Penghasilan Suami Lebih Kecil Dari Istri? Ini Penjelasannya Dalam Islam
Sudah jamak diketahui bahwa nafkah merupakan tanggung jawab dan kewajiban suami.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi istri untuk bekerja dengan tujuan membantu ekonomi keluarga, di samping penghasilan suami.
Ada yang menjadi perempuan karir, berbisnis, membuka usaha rumahan, mengisi seminar, jasa les privat, dll.
Apalagi di era yang serba digital ini, banyak sekali pekerjaan yang tidak membutuhkan keluar rumah, atau pergi ke kantor.
Cukup bermodalkan smartphone, akun media sosial, dan foto-foto menarik untuk mempromosikan barang dagangan mulai dari jualan baju, buku, makanan, sampai ke perabotan rumah tangga.
Sebagian dari usaha ini menjadikan istri mandiri, dan tidak jarang menjadikan istri memiliki penghasilan yang lebih besar dari suami. Bagaimanakah jika ini terjadi?
Bagaimana status penghasilan istri tersebut? Apakah istri harus berhenti bekerja sebagai bentuk penghormatan kepada suami sebagai kepala rumah tangga?
Sudah maklum bahwa suami adalah pengayom dan pelindung keluarga.
Disebut juga pemimpin karena kelebihannya dari perempuan, dan kewajibannya dalam menafkahkan hartanya untuk keluarganya sebagaimana tertera dalam surah An-Nisa’; 34.
Istri sebagai pendamping suami sejatinya memiliki dua hak, yaitu mahar dan nafkah. Hal ini sebagaimana tertera dalam Q.S. An-Nisa’: 4 sebagai kewajiban mahar bagi suami kepada istri, dan Q.S. Al-Baqarah: 233 sebagai berikut;
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Oleh sebab nafkah istri merupakan tanggung jawab suami, sejatinya harta istri adalah milik ia sendiri.
Itu merupakan hasil usahanya yang tidak diwajibkan untuk diberikan kepada suami ataupun keluarga. Allah swt berfirman dalam surah An-Nisa: 32;
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمً
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap suami atau istri memiliki hak atas apa yang telah diusahakanya melalui bekerja.
Harta istri adalah hartanya, Begitu juga dengan harta suami adalah miliknya.
Akan tetapi karena suami memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarga, maka harta suami diberikan kepada istri dan anak untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Istri dalam hal ini boleh saja menolak membelanjakan hartanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena sejatinya hal itu merupakan tanggung jawab suami.
Hal ini menjadi berbeda apabila ditinjau dari substansi pernikahan yang sejatinya bukan lagi tentang individu, tetapi tentang kerjasama antara suami dan istri.
Oleh karena penghasilan tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, istri hendaknya juga secara sukarela memberikan sebagian usahanya untuk kebutuhan sehari-hari.
Meskipu demikian, kondisi ini tidak menjadikan gugurnya kewajiban suami sebagai pemberi nafkah sebagaimana yang diperintahkan.
Dengan demikian, karena penghasilan istri menjadi penopang dan membantu ekonomi keluarga, istri tidak perlu berhenti bekerja.
Suami pun tidak perlu minder karena penghasilannya lebih sedikit. Satu dengan yang lain adalah mitra untuk mewujudkan keluarga bahagia yang harmonis dan berkecukupan.
Suami hendaknya tetaplah mendukung, dan istri tetap hormat kepada suami karena sejatinya pernikahan bukanlah soal transaksi, bukan soal pembagian tugas individu melainkan kerjasama satu dengan yang lain.
Sumber: bincangsyariah.com
Sudah jamak diketahui bahwa nafkah merupakan tanggung jawab dan kewajiban suami.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bagi istri untuk bekerja dengan tujuan membantu ekonomi keluarga, di samping penghasilan suami.
Ada yang menjadi perempuan karir, berbisnis, membuka usaha rumahan, mengisi seminar, jasa les privat, dll.
Apalagi di era yang serba digital ini, banyak sekali pekerjaan yang tidak membutuhkan keluar rumah, atau pergi ke kantor.
Cukup bermodalkan smartphone, akun media sosial, dan foto-foto menarik untuk mempromosikan barang dagangan mulai dari jualan baju, buku, makanan, sampai ke perabotan rumah tangga.
Sebagian dari usaha ini menjadikan istri mandiri, dan tidak jarang menjadikan istri memiliki penghasilan yang lebih besar dari suami. Bagaimanakah jika ini terjadi?
Bagaimana status penghasilan istri tersebut? Apakah istri harus berhenti bekerja sebagai bentuk penghormatan kepada suami sebagai kepala rumah tangga?
Sudah maklum bahwa suami adalah pengayom dan pelindung keluarga.
Disebut juga pemimpin karena kelebihannya dari perempuan, dan kewajibannya dalam menafkahkan hartanya untuk keluarganya sebagaimana tertera dalam surah An-Nisa’; 34.
Istri sebagai pendamping suami sejatinya memiliki dua hak, yaitu mahar dan nafkah. Hal ini sebagaimana tertera dalam Q.S. An-Nisa’: 4 sebagai kewajiban mahar bagi suami kepada istri, dan Q.S. Al-Baqarah: 233 sebagai berikut;
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Oleh sebab nafkah istri merupakan tanggung jawab suami, sejatinya harta istri adalah milik ia sendiri.
Itu merupakan hasil usahanya yang tidak diwajibkan untuk diberikan kepada suami ataupun keluarga. Allah swt berfirman dalam surah An-Nisa: 32;
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمً
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Mengetahui Segala Sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)
Ayat di atas menunjukkan bahwa setiap suami atau istri memiliki hak atas apa yang telah diusahakanya melalui bekerja.
Harta istri adalah hartanya, Begitu juga dengan harta suami adalah miliknya.
Akan tetapi karena suami memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarga, maka harta suami diberikan kepada istri dan anak untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Istri dalam hal ini boleh saja menolak membelanjakan hartanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena sejatinya hal itu merupakan tanggung jawab suami.
Hal ini menjadi berbeda apabila ditinjau dari substansi pernikahan yang sejatinya bukan lagi tentang individu, tetapi tentang kerjasama antara suami dan istri.
Oleh karena penghasilan tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, istri hendaknya juga secara sukarela memberikan sebagian usahanya untuk kebutuhan sehari-hari.
Meskipu demikian, kondisi ini tidak menjadikan gugurnya kewajiban suami sebagai pemberi nafkah sebagaimana yang diperintahkan.
Dengan demikian, karena penghasilan istri menjadi penopang dan membantu ekonomi keluarga, istri tidak perlu berhenti bekerja.
Suami pun tidak perlu minder karena penghasilannya lebih sedikit. Satu dengan yang lain adalah mitra untuk mewujudkan keluarga bahagia yang harmonis dan berkecukupan.
Suami hendaknya tetaplah mendukung, dan istri tetap hormat kepada suami karena sejatinya pernikahan bukanlah soal transaksi, bukan soal pembagian tugas individu melainkan kerjasama satu dengan yang lain.
Sumber: bincangsyariah.com